Saturday 4 November 2017

Hukum Bermain Forex Menurut Muise


Geschrieben von jaenal nurohman auf Minggu, 10. Juni 2012 19.27 Investasi FOREX Handel merupakan investasi yang sangat menjanjikan dimana kita bisa memperoleh profit yang cukup lumayan dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi dengan kehadiran Broker Forex Online yaitu Instaforex Yang memberikan jasa Forex Signal di Internet, Semakin memudahkan setiap orang untuk mendulang Gewinn di Bisnis ini bahkan tanpa Harus melewati upaya belajar Yang terlalu Lama dan tanpa Harus memahami analisa teknikalmaupun grundlegende Yang memusingkan kepala. Penghasilan para Trader-Händler forex profesional sangat dan jauh meninggalkan para pelaku-pelaku bisnis lainnya seperti para pelaku bisnis MLM dan perdagangan konvensional. Tapi kemudian banyak yang mempertanyakan kehalalan dari hasil yang diperoleh bisnis forex handeln ini dikarenakan sifatnya yang abstrakt dan tidak kasat mata. Sebagian umat islamischen meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Jangan engkau menschenblich sesuatu yang tidak ada padamu, 8221 sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hasits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hatte tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktisch jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian esu, tak pelak lagi, muuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ul Ul............................................ Baik dalam Al Qur8217an, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, Hanya Terdapat Larangan Menjual Barang Yang Belum Ada, Sebagaimana Larangan Beberapa Barang Yang Sudah Ada Pada Waktu akad. 8220Erweiterte Suche Die Suche ergab keine genauen Treffer. Die Suche ergab keine genauen Treffer. MA dari IAIN SUKA Persönliche Daten Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikanischen itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang gelegen, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi 8211 karena satu dan hal gelegen 8212 tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak SAH. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi Yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya Praktek penyimpangan berupa penipuan 8212 satu hal Yang sebetulnya bisa juga terjadi Pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian Dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa8217il almu8217ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, den Status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum Yang tidak mempunyai referensi nash hukum Yang Pasti. Dalam kategoris masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushusch qad intahat wa al-waqa8217I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran als Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan von Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, Fatwa hukum dapat berubah karena beberapa Variabel perubahnya, yakni: Waktu, Tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan Dari Paradigmas ilmu hukum Dari gurunya Ibn Taimiyyah, Yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a8217yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idee. Paradigma ini diturunkan Dari prinsip hukum Islam tentang Keadilan Yang dalam Al Quran digunakan istilah al-Mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajianischer fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata gelegen, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam Ära globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak Yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan Waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan Bunyi UU No. 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan Praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay8217 al-salam8217ajl bi8217ajil. Bay8217 al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay8217 ajl bi8217ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra8217s al-mal dalam bentuk uang sebaiai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi8217iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: 8220Akad atas komoditas jual beli Yang diberi sifat terjamin Yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual Yang ditetapkan di dalam Schleimbeutel akad8221. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan öl terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut. Rukun sebagai unsur-unsur utama Yang Harus ada dalam Suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay8217 al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (8216aqid) Yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih. OBJEK transaksi (ma8217qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga Tukar (ra8217s al-mal al-salam dan al-Muslim FIH). Kalimat transaksi (Sighat 8216aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, Ulama Syafi8217iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-Salaf di dalam Kalimat-Kalimat transaksi itu, dengan Alasan bahwa 8216aqd al-salam adalah bay8217 al-ma8217dum dengan sifat dan cara berbeda Dari akad jual dan beli (kaufen). Persyaratan menyangkut OBJEK transaksi, adalah: bahwa OBJEK transaksi Harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (ein yakun fi jinsin ma8217lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga Tukar, Tempat penyerahan. Persyaratan Yang Harus dipenuhi oleh harga Tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, jenis kejelasan alat Tukar, yaitu Dirham, dinar, Rupiah atau dolar dsb atau barang-barang Yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah, Timbangan, Yang, Disease, Bentuk, Kilogramm, Teich, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-8217aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan von Antara Pelaku Transaksi, Yang Akan Merusak Nilai Transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan ist eine US-amerikanische Schauspielerin. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak Yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-Undangan Yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau rechtliche Maxime Yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay8217 al-salam. Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Wählen Sie Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing Timbul Karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu uang Yang Masing-Masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama Verschiedenes sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga Timbul PERBANDINGAN nilai MATA uang antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar Negara terkumpul dalam Suatu BURSA atau PASAR Yang bersifat internasional dan terikat dalam Suatu kesepakatan bersama Yang Saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai Volumen permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan und penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk Mitglied seit menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang Penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat Menjadi OBJEK transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat muhammad isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam luft, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal und Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dänischer syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya bohne meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni Dari Abu Hurairah: 8220Barang Siapa Yang membeli sesuatu Yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia Telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam Yang masih terpendam, seperti ketela, Kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena Akan mengalami kesulitan atau kerugian jika Harus mengeluarkan semua hasil tanaman Yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperi makanan kalengan, lpg, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Dschungel, al-Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 Hal. 55.Hukum Forex Trading Menurut MUI Halal atau Haram Mengingat banyaknya Yang mempertanyakan apa hukum den Handel mit Devisen menurutIslam (Meski sudah banyak dikupas) maka berikut ini Saya veröffentlichen artikel Dari Gainscope tentang Fatwa MUI tentang TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada bahwa handeln forex adalah HARAM dengan hujjahargumen yang mereka pegangi. Auf der Karte anzeigen Anda. Selamat-Membran. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-Sharf) Pertanyaan Yang pasti ditanyakan oleh setiap Händler di Indonesien: 1. Apakah Forex Trading Haram 2. Apakah Forex Trading Halal 3. Apakah Forex Trading diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita Bahas dengan artikel yang pertama: Devisenhandel Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Wählen Sie Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing Timbul Karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu uang Yang Masing-Masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama Verschiedenes sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga Timbul PERBANDINGAN nilai MATA uang antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar Negara terkumpul dalam Suatu BURSA atau PASAR Yang bersifat internasional dan terikat dalam Suatu kesepakatan bersama Yang Saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai Volumen permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan und penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt In den Einkaufswagen Sehen Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang Penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat Menjadi OBJEK transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri Izin............................................. Perlu ditambahkan pendapat muhammad isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam Luft, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal und Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya bohne meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat von Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam Yang masih terpendam, seperti ketela, Kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena Akan mengalami kesulitan atau kerugian jika Harus mengeluarkan semua hasil tanaman Yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: 8220Kesulitan itu Menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang-barang Yang Telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi Label Yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Dschungel, al-Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 Hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta als adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerikanisches, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara mutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan erfahrung devisa. Misalnya eksportir Indonesien akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesien memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikanischen akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang Penuh menetapkan kurs uangnya Masing-Masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang Asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000 Ub...................................................... Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta Asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno et al Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982 hal 76-77..) Fatwa MUI tentang PERDAGANGAN Valas Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUIIII2002 Zehntel Jual Beli Mata Uang (Al-Schal) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-Sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (Tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi Yang Status hukumnya dalam pandangan AJARAN Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk gelegen. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran islam, DSN memandang perlu menetapkan Fatwa tentang al-Schein untuk dijadikan pedoman. 1. Fräulein Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba. 2. Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibn Madscha Dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya Boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara Kedua Belah pihak) (HR albaihaqi dan Ibn Madscha, dan dinilai shahih oleh. Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim Dari Ubadah bin Shamit, sah Nabi bersabda: (Juallah) emas dengan Emas, Perak dengan Perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma (Denga-Sara-Harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan Secara Tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibn Madscha, dan Ahmad, Dari Umar bin Khattab, sah Nabi bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim Dari Abu Said al-Khudri, Nabi sah bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali Sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian Yang gelegen janganlah menjual perak dengan perak kecuali Sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Moslemische Dari Bara bin Azib und Zaid bin Arqam. Rasulullah sah melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi Dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara Kaum muslimin, kecuali perjanjian Yang mengharamkan Yang halal atau menghalalkan Yang haram dan Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat Mereka kecuali syarat Yang mengharamkan Yang halal atau menghalalkan Yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al - UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional Pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002 Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang Pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (Untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta Asing untuk penyerahan Pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling Lambat dalam jangka Waktu dua Hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bis zum dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas Yang nilainya ditetapkan Pada saat Sekarang dan diberlakukan untuk Waktu yang akan datang, antara 2x24 Marmelade sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga Yang digunakan adalah harga Yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga Pada Waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai Yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk vorwärts Vereinbarung untuk kebutuhan Yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu Suatu Kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga Stelle yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga nach vorn. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah einheit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan von diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN Syariah NASIONAL - Majelis ULAMA INDONESIEN Tulisan gelegen Yang menguatkan adalah sebagaimana ditulis oleh Dr. Mohammed Obaidullah di bawah ini tentang ISLAMISCHE Devisenhandel. 1. Die grundlegenden Börsenverträge Es besteht ein allgemeiner Konsens unter islamischen Juristen, dass Währungen verschiedener Länder zu einem von der Einheit abweichenden Wechselkurs ausgetauscht werden können, da die Währungen der verschiedenen Länder unterschiedliche Einheiten mit unterschiedlichen Werten oder eigenem Wert sind , Und Kaufkraft. Es scheint auch ein allgemeines Einverständnis der Mehrheit der Gelehrten zu geben, dass der Wechselkurs auf der Basis von Terminen nicht zulässig ist, dh wenn sich die Rechte und Pflichten beider Parteien auf einen zukünftigen Zeitpunkt beziehen. Es besteht jedoch ein beträchtlicher Meinungsunterschied zwischen Juristen, wenn die Rechte einer der Parteien, die mit der Verpflichtung der Gegenpartei identisch sind, auf einen späteren Zeitpunkt verschoben werden. Um zu erläutern, betrachten wir das Beispiel von zwei Individuen A und B, die zwei verschiedenen Ländern, Indien und den USA angehören. A beabsichtigt, indische Rupien zu verkaufen und US-Dollar zu kaufen. Das Umgekehrte gilt für B. Der vereinbarte Rupie-Dollar-Wechselkurs beträgt 1:20 und die Transaktion bezieht sich auf den Kauf und Verkauf von 50. Die erste Situation ist, dass A eine Spotzahlung von Rs1000 an B leistet und die Zahlung von 50 aus B akzeptiert Die Transaktion wird von beiden Seiten punktuell abgewickelt. Solche Geschäfte sind gültig und islamisch zulässig. Es gibt keine zwei Meinungen über das gleiche. Die zweite Möglichkeit ist, dass die Abwicklung der Transaktion von beiden Seiten auf ein zukünftiges Datum, z. B. nach sechs Monaten, verzögert wird. Dies impliziert, dass sowohl A als auch B die Zahlung von Rs1000 oder 50, je nach Fall, nach sechs Monaten annehmen und akzeptieren. Die vorherrschende Ansicht ist, dass ein solcher Vertrag islamisch nicht zulässig ist. Eine Minderheit betrachtet es als zulässig. Das dritte Szenario ist, dass die Transaktion teilweise nur von einem Ende abgerechnet wird. Zum Beispiel macht A eine Zahlung von Rs1000 jetzt an B anstatt eines Versprechens von B zu zahlen 50 zu ihm nach sechs Monaten. Alternativ akzeptiert A jetzt 50 von B und verspricht, Rs1000 an ihn nach sechs Monaten zu zahlen. Es gibt diametral entgegengesetzte Ansichten über die Zulässigkeit solcher Verträge, die Bai-Salam in Währungen ausmachen. Das Ziel dieser Arbeit ist es, eine umfassende Analyse der verschiedenen Argumente und der Zulässigkeit dieser Basisverträge mit Währungen vorzulegen. Die erste Form des Kontrahierens, die den Austausch von Gegenwerten an Ort und Stelle einschließt, ist jenseits aller Kontroversen. Zulässigkeit oder anderweitig der zweite Vertragstyp, bei dem die Lieferung eines der Gegenwerte auf ein zukünftiges Datum verschoben wird, wird im Rahmen des Riba-Verbots allgemein diskutiert. Dementsprechend diskutieren wir diesen Vertrag in Abschnitt 2, der sich mit der Frage des Verbots von Riba befasst. Die Zulässigkeit der dritten Vertragsform, bei der die Lieferung der beiden Gegenwerte verzögert wird, wird im Rahmen der Verringerung von Risiken und Unsicherheiten oder gharar, die an solchen Verträgen beteiligt sind, diskutiert. Dies ist daher das zentrale Thema von Abschnitt 3, der sich mit der Frage von Gharar beschäftigt. Abschnitt 4 versucht eine ganzheitliche Betrachtung der Scharia sowie die ökonomische Bedeutung der Grundformen des Vertragsverhältnisses auf dem Devisenmarkt. 2. Die Herausgabe von Riba-Prohibition Die Abweichung von Ansichten1 über die Zulässigkeit oder anderweitig von Devisentermingeschäften kann in erster Linie auf die Frage des Riba-Verbots zurückgeführt werden. Die Notwendigkeit, Riba in allen Formen von Austauschverträgen zu beseitigen, ist von größter Wichtigkeit. Riba in ihrem Scharia-Kontext ist in der Regel definiert als ein unzulässiger Gewinn, der sich aus der quantitativen Ungleichung der Gegenwerte bei jeder Transaktion ergibt, die den Austausch von zwei oder mehr Arten (anwa) bewirkt, die zu derselben Gattung gehören Die gleiche effiziente Ursache (illa). Riba wird im Allgemeinen in Riba al-fadl (Exzess) und Riba al-Nasia (Stundung) klassifiziert, die einen unzulässigen Vorteil durch Überschuss oder Stundung bezeichnen. Verbot der ersteren wird durch eine Bestimmung erreicht, dass der Wechselkurs zwischen den Objekten einheitlich ist und kein Gewinn für jede Partei zulässig ist. Die letztgenannte Art von Riba ist verboten, indem sie eine aufgeschobene Vereinbarung verweigert und sicherstellt, dass die Transaktion von beiden Parteien an Ort und Stelle abgewickelt wird. Eine andere Form von Riba heißt Riba al-jahiliyya oder vorislamischen Riba, die Oberflächen, wenn der Kreditgeber fragt den Kreditnehmer am Fälligkeitstag, wenn die letztere würde die Schuld begleichen oder erhöhen die gleiche. Die Zunahme ist begleitet von Zinsen auf den ursprünglich geliehenen Betrag. Das Verbot der Riba im Währungsaustausch verschiedener Länder erfordert einen Analogieprozeß (qiyas). Und in einer solchen Übung mit Analogie (qiyas) spielt die effiziente Ursache (illa) eine äußerst wichtige Rolle. Es ist eine gemeinsame effiziente Ursache (illa), die das Objekt der Analogie mit seinem Subjekt, in der Ausübung der analogen Argumentation verbindet. Die geeignete effiziente Ursache (illa) im Falle von Austauschverträgen wurde von den großen Schulen von Fiqh unterschiedlich definiert. Dieser Unterschied spiegelt sich in der analogen Begründung für Papierwährungen verschiedener Länder wider. Eine für die analoge Argumentation bedeutsame Frage bezieht sich auf den Vergleich zwischen den Papierwährungen mit Gold und Silber. In den frühen Tagen des Islam vollbrachten Gold und Silber alle Funktionen des Geldes (Thaman). Währungen wurden aus Gold und Silber mit einem bekannten intrinsischen Wert (Quantum von Gold oder Silber in ihnen enthalten) gemacht. Solche Währungen werden als thaman haqiqi oder naqdain in der Fiqh-Literatur beschrieben. Diese waren allgemein akzeptabel als Haupttauschmittel, das für einen großen Teil der Transaktionen verantwortlich war. Viele andere Güter, wie verschiedene minderwertige Metalle dienten auch als Austauschmittel, aber mit begrenzter Akzeptanz. Diese werden als fals in Fiqh Literatur beschrieben. Diese sind auch als thaman istalahi bekannt, weil ihre Akzeptabilität nicht aus ihrem intrinsischen Wert, sondern aufgrund des Status hervorgeht, den die Gesellschaft in einem bestimmten Zeitraum eingeräumt hat. Die obigen beiden Währungsformen wurden von früh islamischen Juristen unter dem Gesichtspunkt der Zulässigkeit von Verträgen, die sie betreffen, sehr unterschiedlich behandelt. Die Frage, die gelöst werden muss, ist, ob die derzeitigen Papierwährungen unter die ehemalige Kategorie fallen oder diese. Eine Ansicht ist, dass diese mit thaman haqiqi oder Gold und Silber gleich behandelt werden sollten, da diese als das hauptsächliche Tauschmittel und Recheneinheit wie dieses dienen. Nach alledem sollten also alle für thaman haqiqi geltenden schariabezogenen Normen und Verordnungen auch auf Papierwährung anwendbar sein. Der Austausch von thaman haqiqi ist als bai-sarf bekannt, weshalb die Transaktionen in Papierwährungen durch die für bai-sarf relevanten Scharia-Regeln geregelt werden sollten. Die gegenteilige Ansicht behauptet, daß Papierwährungen in ähnlicher Weise wie Fals oder Thaman Istalahi behandelt werden sollten, weil sich ihr Nennwert von ihrem eigentlichen Wert unterscheide. Ihre Akzeptanz beruht auf ihrer Rechtsstellung im Inland oder auf globaler wirtschaftlicher Bedeutung (zB im Fall von US-Dollar). 2.1. Eine Synthese alternativer Ansichten 2.1.1. Analoges Argumentieren (Qiyas) für Riba Verbot Das Verbot der Riba basiert auf der Tradition, die der heilige Prophet (Friede sei mit ihm) sagte: Verkaufe Gold für Gold, Silber für Silber, Weizen für Weizen, Gerste für Gerste, Salz für Salz, in gleichen Mengen auf der Stelle und wenn die Waren unterschiedlich sind, verkaufen, wie es zu Ihnen passt, aber auf der Stelle. So gilt das Verbot der Rippe vor allem für die beiden Edelmetalle (Gold und Silber) und vier weitere Rohstoffe (Weizen, Gerste, Datteln und Salz). Sie gilt nach Analogie (qiyas) für alle Arten, die durch dieselbe effiziente Ursache (illa) beherrscht werden oder zu einer der Gattungen der sechs in der Tradition zitierten Gegenstände gehören. Jedoch gibt es keine allgemeine Vereinbarung zwischen den verschiedenen Schulen von Fiqh und sogar Gelehrte, die zur gleichen Schule auf der Definition und der Identifikation der leistungsfähigen Ursache (illa) von Riba gehören. Für die Hanafis hat die effiziente Ursache (illa) der Riba zwei Dimensionen: Die ausgetauschten Artikel gehören zu der gleichen Gattung (jins), die über Gewicht (Wazan) oder Meßbarkeit (Kiliyya) verfügen. Wenn in einem gegebenen Austausch beide Elemente der effizienten Ursache (illa) vorhanden sind, dh die ausgetauschten Gegenwerte derselben Gattung (jins) angehören und alle wägbar oder alle messbar sind, dann ist kein Gewinn zulässig (der Wechselkurs muss Gleich 1) und der Austausch muss vor Ort erfolgen. Im Falle von Gold und Silber, die beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) sind: Einheit der Gattung (jins) und die Gewichtbarkeit. Dies ist auch die Hanbali-Ansicht nach einer Version3. (Eine andere Version ähnelt der Ansicht von Shafii und Maliki, wie unten diskutiert wird.) Wenn also Gold gegen Gold ausgetauscht wird oder Silber gegen Silber ausgetauscht wird, sind nur Kassageschäfte ohne Gewinn möglich. Es ist auch möglich, dass in einem gegebenen Austausch eines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) vorhanden ist und das andere nicht vorhanden ist. Wenn zum Beispiel die ausgetauschten Gegenstände alle wiegen oder meßbar sind, aber zu verschiedenen Gattungen gehören (jins), oder, wenn die ausgetauschten Gegenstände zu derselben Gattung gehören (jins), aber weder wägbar noch meßbar sind, dann Austausch mit Gewinn (mit einer Rate, Einheit) ist zulässig, aber der Austausch muss vor Ort erfolgen. Wenn also Gold gegen Silber ausgetauscht wird, kann die Rate von der Einheit abweichen, aber keine verzögerte Abrechnung ist zulässig. Wenn keines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) der Riba in einer gegebenen Vermittlungsstelle vorliegt, gilt keine der Unterlassungsverfügungen für das Rippenverbot. Der Umtausch kann mit oder ohne Gewinn erfolgen, und zwar sowohl punktuell als auch aufgeschoben. In Anbetracht des Falles des Austauschs von Papierwährungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, würde das Ribverbot eine Suche nach einer effizienten Ursache (illa) erfordern. Währungen, die verschiedenen Ländern angehören, sind klar voneinander getrennte Einheiten, die gesetzliches Zahlungsmittel innerhalb bestimmter geografischer Grenzen mit unterschiedlichem Wert oder Kaufkraft sind. Daher kann eine große Mehrheit der Gelehrten zu Recht behaupten, dass es keine Einheit der Gattung (jins) gibt. Darüber hinaus sind diese weder wägbar noch messbar. Dies führt zu einer direkten Schlussfolgerung, dass keines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) der Riba in einem solchen Austausch existiert. Der Umtausch kann also frei von jeglichen Verfügungen über den Wechselkurs und die Art der Abwicklung erfolgen. Die Logik, die dieser Position zugrunde liegt, ist nicht schwer zu verstehen. Der innere Wert von Papierwährungen, die verschiedenen Ländern angehören, unterscheiden sich, da diese unterschiedliche Kaufkraft haben. Zusätzlich kann der innere Wert oder Wert von Papierwährungen nicht identifiziert oder beurteilt werden, anders als Gold und Silber, die gewogen werden können. Daher kann weder die Anwesenheit von riba al-fadl (durch Überschuss) noch riba al-nasia (durch Deferment) festgestellt werden. Die Shafii Schule von Fiqh betrachtet die effiziente Ursache (illa) im Falle des Goldes und des Silbers, um ihr Eigentum des Wesens (thamaniyya) oder des Tauschmittels, der Rechnungseinheit und des Wertschatzes zu sein. Dies ist auch die Maliki-Ansicht. Nach einer Version dieser Ansicht, auch wenn Papier oder Leder zum Tauschmedium gemacht wird und den Status der Währung erhält, gelten dann alle Regelungen für Naqdain oder Gold und Silber. So ist nach dieser Fassung der Austausch, der Währungen verschiedener Länder mit einer von der Einheit verschiedenen Rate umfaßt, zulässig, muß aber vor Ort abgewickelt werden. Eine andere Version der obigen zwei Denkschulen ist, dass die oben zitierte effiziente Ursache (illa) der Währung (thamaniyya) für Gold und Silber spezifisch ist und nicht verallgemeinert werden kann. Das heißt, jedes andere Objekt, wenn es als Austauschmedium verwendet wird, kann nicht in seine Kategorie aufgenommen werden. Daher sind nach dieser Fassung die Schariaerlasse für das Ribverbot nicht auf Papierwährungen anwendbar. Währungen, die verschiedenen Ländern angehören, können mit oder ohne Gewinn ausgetauscht werden, und zwar sowohl punktuell als auch aufgeschoben. Die Befürworter der früheren Version zitieren den Fall des Austausches von Papierwährungen, die zum selben Land gehören, um ihre Version zu verteidigen. Die Konsensus-Meinung der Juristen in diesem Fall ist, dass diese Austausch muss ohne Gewinn oder mit einer Rate gleich der Einheit und muss auf einer Stelle abgewickelt werden. Was ist der Grundgedanke der obigen Entscheidung Wenn man die Hanafi und die erste Version der Hanbali-Position betrachtet, dann ist in diesem Fall nur eine Dimension der effizienten Ursache (illa) vorhanden, dh sie gehören zu derselben Gattung (jins ). Aber Papierwährungen sind weder wägbar noch messbar. Daher würde das Hanafi-Gesetz anscheinend den Austausch von verschiedenen Mengen derselben Währung vor Ort erlauben. Ebenso, wenn die effiziente Ursache der Währung (thamaniyya) nur für Gold und Silber spezifisch ist, dann gestatten auch Shafii und Maliki das gleiche. Unnötig zu sagen, dies zu ermöglichen, Rib-basierte Kreditaufnahme und Kreditvergabe. Dies zeigt, dass es die erste Version des Shafii und Maliki-Gedankens ist, die dem Konsensentscheid des Verbots des Gewinns und der aufgeschobenen Regelung im Falle des Austauschs von Währungen des gleichen Landes zugrunde liegt. Nach Ansicht der Befürworter würde die Ausweitung dieser Logik auf den Austausch von Währungen verschiedener Länder implizieren, dass Austausch mit Gewinn oder mit einer von der Einheit verschiedenen Rate zulässig ist (da es keine Einheit von jins), aber die Abrechnung muss an Ort und Stelle erfolgen. 2.1.2 Vergleich zwischen Devisenumtausch und Bai-Sarf Der Bai-Schatz ist in der Fiqh-Literatur als eine Börse mit thaman haqiqi definiert, die als Gold und Silber definiert ist und als Hauptmedium für nahezu alle großen Transaktionen diente. Die Befürworter der Ansicht, dass jeder Austausch von Währungen von verschiedenen Ländern ist die gleiche wie bai-sarf argumentieren, dass im gegenwärtigen Zeitalter Papier Währungen haben wirksam und vollständig ersetzt Gold und Silber als das Medium des Austauschs. Daher sollte der Austausch, der solche Währungen einbezieht, durch die gleichen Scharia-Regeln und Unterlassungsanordnungen wie bai-sarf geregelt werden. Es wird auch argumentiert, dass, wenn eine aufgeschobene Abwicklung durch beide Vertragsparteien zulässig wäre, dies die Möglichkeiten der Riba-Nasia öffnen würde. Gegner der Kategorisierung der Wechselkurse mit bai-sarf weisen jedoch darauf hin, dass der Austausch aller Währungsformen (Thaman) nicht als Bai-Scharf bezeichnet werden kann. Nach dieser Ansicht bedeutet bai-sarf den Austausch von Währungen aus Gold und Silber (thaman haqiqi oder naqdain) allein und nicht von Geld, die als solche von den staatlichen Behörden (thaman istalahi) ausgesprochen wurden. Die gegenwärtigen Alterswährungen sind Beispiele der letzteren Art. Diese Gelehrten finden Unterstützung in jenen Schriften, die behaupten, daß, wenn die Waren des Tausches nicht Gold oder Silber sind, (auch wenn einer von diesen Gold oder Silber ist), dann kann die Börse nicht als Bai-Schal bezeichnet werden. Auch die Bestimmungen über bai-sarf gelten nicht für solche Börsen. Laut Imam Sarakhsi4 kauft eine Einzelperson Fals oder Münzen aus untergeordneten Metallen, wie Kupfer (thaman istalahi) für Dirhams (thaman haqiqi) und macht eine Spotzahlung der letzteren, aber der Verkäufer hat keine Fals in diesem Moment , So ist ein solcher Austausch zulässig. Die von beiden Parteien ausgetauscht werden, ist keine Voraussetzung (im Fall von bai-sarf). Es gibt eine Reihe ähnlicher Referenzen, die darauf hindeuten, dass Juristen den Austausch von Fals (Thaman istalahi) nicht für andere Fals Thaman istalahi) oder Gold oder Silber (thaman haqiqi), als bai-Schal. Daher kann der Austausch von Währungen von zwei verschiedenen Ländern, die nur als thaman istalahi qualifizieren können, nicht als bai-sarf kategorisiert werden. Ebenso wenig kann die Einschränkung der Spotabrechnung auf solche Geschäfte angewendet werden. Hier ist anzumerken, daß die Definition des Bai-Scharfs fiktiv ist und in den heiligen Traditionen nicht erwähnt wird. Die Traditionen erwähnen Riba, und der Verkauf und Kauf von Gold und Silber (naqdain), die eine Hauptquelle der Riba sein kann, wird von den islamischen Juristen als Bai-Scharf bezeichnet. Es ist auch anzumerken, daß bai-scharf in der Fiqh-Literatur nur den Austausch von Gold oder Silber impliziert, ob diese gegenwärtig als Tauschmittel verwendet werden oder nicht. Austausch mit Dinaren und Goldschmuck, beide Qualität als Bai-Schal. Verschiedene Juristen haben versucht, diesen Punkt zu klären und haben definiert Scharf als der Austausch, in dem die beiden ausgetauschten Waren sind in der Natur des Thaman, nicht unbedingt thaman sich. Daher wird, auch wenn eine der Waren Gold verarbeitet wird (z. B. Ornamente), dieser Austausch bai-sarf genannt. Die Befürworter der Ansicht, dass die Devisenbörse in ähnlicher Weise wie bai-sarf behandelt werden sollte, stammen auch von Schriften namhafter islamistischer Juristen. Nach Imam Ibn Taimiya heißt alles, was die Funktionen des Tauschmittels, der Rechnungseinheit und des Wertschatzes erfüllt, als Thaman (nicht unbedingt auf Goldampersilber beschränkt). Ähnliche Schriftsätze gibt es in den Schriften von Imam Ghazzali5 Soweit die Ansichten von Imam Sarakhshi über den Austausch mit Fals betroffen sind, müssen nach ihnen einige zusätzliche Punkte zur Kenntnis genommen werden. In den frühen Tagen des Islam wurden Dinare und Dirhams aus Gold und Silber meist als Tauschmittel in allen wichtigen Transaktionen verwendet. Nur die Kleinen wurden mit Fals besiedelt. Mit anderen Worten, Fals hatte nicht die Eigenschaften des Geldes oder thamaniyya in vollem Umfang und wurde kaum verwendet, als Wert des Wertes oder Rechnungseinheit und war mehr in der Natur der Ware. Daher gab es keine Beschränkung für den Erwerb derselben für Gold und Silber auf verzögerter Basis. Die heutigen Währungen haben alle Merkmale von Thaman und sollen nur Thaman sein. Die Börse mit Währungen von verschiedenen Ländern ist die gleiche wie bai-Schal mit Unterschied der jins und damit, aufgeschoben Abrechnung würde zu riba al-Nasia führen. Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui illustriert diese Möglichkeit mit einem Beispiel6. Er schreibt zu einem bestimmten Zeitpunkt, wenn der Markt Wechselkurs zwischen Dollar und Rupie ist 1:20, wenn eine Einzelperson kauft 50 im Verhältnis zu 1:22 (Abwicklung seiner Verpflichtung in Rupien aufgeschoben auf ein zukünftiges Datum), dann Es ist sehr wahrscheinlich, daß er ist. In der Tat, Kreditaufnahme Rs. 1000 an Stelle eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Seitdem kann er Rs 1000 jetzt erhalten, Austausch der 50 auf Kredite zu Kassakurs gekauft werden) So kann Schand in zinsbasierte Kreditvergabe Kredite umgewandelt werden. 2.1.3 Definition von Thamaniyya ist der Schlüssel Es scheint aus der obigen Synthese der alternativen Ansichten, dass die wichtigste Frage scheint eine korrekte Definition von thamaniyya zu sein scheint. Zum Beispiel, eine grundlegende Frage, die zu divergierenden Positionen auf Zulässigkeit führt, bezieht sich auf, ob Thamaniyya ist spezifisch für Gold und Silber oder kann mit allem, was die Funktionen des Geldes führt zugeordnet werden. Wir heben einige Fragen auf, die bei jeder Übung bei der Überprüfung alternativer Positionen berücksichtigt werden können. Es sollte beachtet werden, dass Thamaniyya nicht absolut sein kann und in Grad variieren kann. Es ist wahr, daß Papierwährungen vollständig Gold und Silber als Tauschmittel, Recheneinheit und Wertschöpfung ersetzt haben. In diesem Sinne kann man sagen, Papier Währungen thamaniyya besitzen. Dies gilt jedoch nur für inländische Währungen und gilt möglicherweise nicht für Fremdwährungen. Mit anderen Worten, indische Rupien besitzen thamaniyya innerhalb der geographischen Grenzen von Indien nur, und haben keine Akzeptanz in den USA. Diese können nicht gesagt werden, thamaniyya in US zu besitzen, es sei denn, ein US-Bürger kann indische Rupien als Medium der Tausch-, oder Rechnungseinheit oder Wertschöpfung verwenden. In den meisten Fällen ist eine solche Möglichkeit fern. Diese Möglichkeit ist auch eine Funktion des Wechselkursmechanismus, wie etwa der Konvertibilität indischer Rupien in US-Dollar, und ob ein festes oder ein variables Wechselkurssystem vorhanden ist. Angenommen, die freie Umwandelbarkeit der indischen Rupien in US-Dollar und umgekehrt und ein fester Wechselkurs, bei dem der Rupien-Dollar-Wechselkurs in absehbarer Zeit nicht voraussichtlich ansteigen oder fallen wird, wird Thamaniyya von Rupie in den USA erheblich verbessert . Auch das von Dr. Nejatullah Siddiqui zitierte Beispiel erscheint unter den gegebenen Umständen ziemlich robust. Die Ermächtigung zum Austausch von Rupien für Dollar auf einer verzögerten Basis (von einem Ende, natürlich) zu einem von dem Kassakurs abweichenden Satz (offizieller Kurs, der voraussichtlich bis zum Abrechnungszeitpunkt beibehalten wird) wäre ein klarer Fall von Zinsbindungen Kreditaufnahme und Kreditvergabe. Wenn jedoch die Annahme eines festen Wechselkurses entspannt ist und das gegenwärtige System der fluktuierenden und volatilen Wechselkurse als der Fall angenommen wird, dann kann gezeigt werden, dass der Fall der Riba-Al-Nasia ausfällt. Wir beschreiben sein Beispiel: In einem gegebenen Augenblick, wenn der Markt Wechselkurs zwischen Dollar und Rupie ist 1:20, wenn eine Einzelperson kauft 50 im Verhältnis 1:22 (Abwicklung seiner Verpflichtung in Rupien aufgeschoben auf ein zukünftiges Datum ), Dann ist es höchstwahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, Kreditaufnahme Rs. 1000 an Stelle eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Da kann er jetzt Rs 1000 erhalten, wobei der Tausch der 50 auf Kredite zum Kassakurs getätigt wird.) Dies wäre nur dann der Fall, wenn das Währungsrisiko nicht existiert (Wechselkurs bleibt bei 1:20) oder vom Verkäufer getragen Von Dollars (Käufer Rückzahlungen in Rupien und nicht in Dollar). Wenn das erstere wahr ist, erhält der Verkäufer der Dollars (Kreditgeber) eine vorgegebene Rendite von zehn Prozent, wenn er Rs1100, die am Fälligkeitstag empfangen wurde, in 55 (mit einem Wechselkurs von 1:20) umwandelt. Ist dies jedoch wahr, so ist die Rückgabe an den Verkäufer (oder den Kreditgeber) nicht vorbestimmt. Es muss nicht einmal positiv sein. Zum Beispiel, wenn der Rupie-Dollar-Wechselkurs auf 1:25 steigt, dann würde der Verkäufer von Dollar nur 44 (Rs 1100 umgerechnet in Dollar) für seine Investition von 50 erhalten. Hier zwei Punkte sind erwähnenswert. Erstens, wenn man ein festes Wechselkursregime annimmt, wird die Unterscheidung zwischen Währungen verschiedener Länder verdünnt. Die Situation wird ähnlich wie der Austausch von Pfund mit Sterling (Währungen aus dem gleichen Land) zu einem festen Zinssatz. Zweitens kann man, wenn man ein volatiles Wechselkurssystem annimmt, genau wie man die Kreditvergabe durch den Devisenmarkt visualisieren kann (Mechanismus, wie im obigen Beispiel angedeutet), auch die Kreditvergabe durch jeden anderen organisierten Markt visualisieren (z. B. für Rohstoffe oder Aktien) .) If one replaces dollars for stocks in the above example, it would read as: In a given moment in time when the market price of stock X is Rs 20, if an individual purchases 50 stocks at the rate of Rs 22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 stocks purchased on credit at current price) In this case too as in the earlier example, returns to the seller of stocks may be negative if stock price rises to Rs 25 on the settlement date. Hence, just as returns in the stock market or commodity market are Islamically acceptable because of the price risk, so are returns in the currency market because of fluctuations in the prices of currencies. A unique feature of thaman haqiqi or gold and silver is that the intrinsic worth of the currency is equal to its face value. Thus, the question of different geographical boundaries within which a given currency, such as, dinar or dirham circulates, is completely irrelevant. Gold is gold whether in country A or country B. Thus, when currency of country A made of gold is exchanged for currency of country B, also made of gold, then any deviation of the exchange rate from unity or deferment of settlement by either party cannot be permitted as it would clearly involve riba al-fadl and also riba al-nasia. However, when paper currencies of country A is exchanged for paper currency of country B, the case may be entirely different. The price risk (exchange rate risk), if positive, would eliminate any possibility of riba al-nasia in the exchange with deferred settlement. However, if price risk (exchange rate risk) is zero, then such exchange could be a source of riba al-nasia if deferred settlement is permitted7. Another point that merits serious consideration is the possibility that certain currencies may possess thamaniyya, that is, used as a medium of exchange, unit of account, or store of value globally, within the domestic as well as foreign countries. For instance, US dollar is legal tender within US it is also acceptable as a medium of exchange or unit of account for a large volume of transactions across the globe. Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunctions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia. The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates. At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender. Riba and risk cannot coexist in the same contract. The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract. 2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties. Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, India Jika Anda merasa tulisan di atas berguna, luangkan waktu barang 5 menit untuk menyebarkannya. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment